Akhir-akhir ini aku sering bertanya kepada diri sendiri, kenapa yah seseorang itu bisa mengalami frustasi, bahkan ada yang bisa mencapai taraf gila hingga harus di rawat di RSJ (Rumah Sakit Jiwa).

Tentu pertanyaan ini berkaitan dengan kondisi abangku yang labil itu.

Aku renungkan, dulu waktu kecil, abangku termasuk seorang anak yang ceria, aktif, dan pintar. Tidak pernah terbayangkan bahwa dia akan mengalami hal seperti ini.

Ada yang bilang abang aku itu autis, ada yang bilang abangku itu mungkin pernah kena narkoba, dan ada juga yang bilang tekanan hidup membuat dia tidak mampu menanggungnya sehingga dia menjadi seperti itu.

Autis? Hmmm… dulu aku pernah bekerja di majalah yang isinya membahas khusus tentang autis. Aku pun sering membuka internet tentang autis. Benarkah abangku itu autis? Melihat dari ciri-cirinya, mungkin ya mungkin juga tidak. Aku tidak tau.

Bagaimana kalau narkoba??? Ya itu pun memang harus di selidiki! Dulu abangku pernah kuliah di Jakarta, dan bisa jadi dia kena narkoba waktu di Jakarta. Akhirnya kami ambil inisiatif cek darah sekalian check up kesehatannya. Hasilnya… tidak ditemukan kandungan narkoba atau ekstasi di dalam darahnya. Bahkan HB darahnya cukup tinggi melebihi batas normal. Hal itu menjadi jawaban atas pertanyaan kami selama ini… Kok abangku itu jarang sakit yah? pagi hari demam tinggi, tiba-tiba sore hari udah sehat. Saat kami sekeluarga terserang flu, abangku tidak tertular. Pokoknya abang aku ini jarang sekali sakit deh… Ternyata itu dikarenakan HB nya yg tinggi.

Hal yang ketiga adalah tekanan hidup. Mungkin hal ini bisa menjadi faktor atas kelabilannya.

Kami dilahirkan di keluarga batak. Tentu bagi orang batak, anak lelaki itu adalah yang tertutama. Apalagi anak lelaki tertua, dialah yang membawa nama keluarga.  Sehingga seringkali anak lelaki tertua di tuntut terlalu berlebihan…

Dulu, alm. bapak aku mendidik abangku dengan cukup keras. Kadang aku kasihan melihat bagaimana bapak mendidik abangku ini. Bapak selalu memaksa abangku untuk belajar, belajar, dan belajar… Memang hasilnya terbukti, dia menjadi anak yang pintar dan mendapat peringkat di sekolah.

Sampai akhirnya ketika dia masuk SMP, dia ingin masuk ke SMP negeri. Tapi bapak lebih suka dia sekolah di swasta yang cukup ternama di Lampung… Ada selentingan yang menyatakan bahwa sekolah negeri itu guru2nya jarang masuk dan ilmu belajarnya tidak begitu bagus. Mungkin ya mungkin juga tidak. Tapi itulah pandangan alm.bapak waktu itu.

Akhirnya abangku merasa kecewa. Memang sekolah di swasta X belajarnya cukup diporsir. Ada banyak PR yang harus dikerjakan, tugas-tugas menumpuk… berbeda dengan teman-temanku yang sekolah di negeri. Mereka terlihat santai dan PR yang harus dikerjaan pun tidak begitu banyak.

Kami empat bersaudara dari TK selalu sekolah di sekolah X.

Alangkah terkejutnya aku ketika aku masuk SMA swasta yang lainnya, sebut saja SMA Y, aku bisa dengan mudah mendapat peringkat disana, padahal di sekolah X aku harus berjuang mati-matian untuk bisa rangking tetapi selalu tidak pernah berhasil.

Sejak abangku masuk di SMP yang tidak dia inginkan, dari situ mulai terlihat gejala pemberontakan dari diri abangku ini. Sikapnya mulai kasar dan semaunya. Seringkali bapak memarahi dia, tetapi abangku ini seperti kebal rasa. Dari situ pun nilai-nilainya mulai merosot.

Saat itu aku tidak mengerti tentang psikologi abangku, mengapa abangku ini bisa bersikap brutal, dan menyebalkan. Kami ketiga adiknya saat itu cukup membencinya. Dulu aku dan abangku sering bertengkar. Bahkan tidak jarang aku dan abangku main pukul2an atau tinju2an. Selalu saja ada hal yang dia dapatkan untuk memicu pertengkaran.

Karena kesal dengan perlakuan abangku yang semena-mena, tidak jarang kami adik2nya membandingkan dia dengan orang lain.

Ahhh, andai aku bisa kembali ke masa itu… Aku sangat menyesal dengan sikapku waktu itu.

Akhirnya saat abangku masuk SMA, dia gagal ikut test ke SMA negeri. Dia pun masuk ke SMA swasta yang lainnya. Selama SMA, abangku ini sudah 3 kali pindah sekolah.

Sejak SMA, sikapnya mulai berubah lagi. Tiba-tiba abangku menjadi sangat pemurung dan suka menyendiri di kamar. Hal itu menjadi kesenangan bagi kami adik-adiknya, karena jika dia berkurung di kamar, maka tidak akan ada lagi biang kerok masalah.

Kami tidak paham, bahwa mungkin sikap pemberontakannya berawal dari rasa kecewa dia karena perlakuan orangtua yang seperti membeda-bedakan kami. Abangku diporsir harus begini dan begitu, menjadi contoh dan teladan juga harus menjadi anak yang pintar dan kebanggan orangtua, di tuntut untuk belajar dan belajar…

Andai kami adik-adiknya peka dengan perasaan dan tekanan yang dia rasakan saat itu. Ahhhh aku ingin waktu di putar kembali. Aku benar-benar menyesal.

Saat itu kami masih kecil, tidak tau tentang apa itu tekanan hidup. Yang kami tau hanya sekolah, main, makan, dan bersenang-senang.

Aku jadi berpikir, mungkinkah tekanan hidup yang menjadi penyebabnya?

Tahun 1996/1997 abangku Lulus SMA, abangku langsung ikut UMPTN, dan dia gagal. Tetapi setelah UMPTN, dia pun ikut ujian Politeknik Swiss ITB di bandung. Saat itu ada 5 tes yang harus dilewati. Tes pertama adalah tes tertulis, dan dia masuk peringkat 5 besar. Ohhh aku masih ingat bagaimana wajahnya yang terlihat begitu bangga saat itu. Bapak juga menepuk2 pundak abangku tanda bangga. Begitu bahagia! 4 tes sudah dilalui dengan baik, dan terakhir dia tes kesehatan.

Ntah mengapa malam hari sebelum tes kesehatan diadakan, dia demam tinggi. keesokan harinya dia memaksa diri utk tetap ikut tes kesehatan. Dan hanya karena itu dia dinyatakan gagal.

Abangku protes dan langsung datang ke rektorat, mencoba mendapatkan keadilan. Para rektor di sana terkejut dengan sikap abangku yang berani. Akhirnya abangku di tawarkan untuk kuliah di bangka, univ negeri. Terserah abangku mau ambil jurusan apa saja, tanpa tes dan dijamin masuk disana, begitu kira-kira penawaran dari rektor. Abangku konsultasi ke bapak dan bapak bilang tidak usah.

Aku tau, abangku sebenarnya sangat kecewa sekali. Akhirnya abangku ikut bimbel di jakarta selama setahun, sambil kuliah di swasta.  Pernah suatu kali ketika abangku turun dari angkot, tiba2 abangku terjatuh dan kepalanya terbentur alas pintu angkot. Dari kabar yang aku terima abangku sempat pingsan. Sampai sekarang masih pertanyaan, mungkin itu menjadi faktor penyebab kelabilan abangku. Entahlah…

Tahun kedua, dia pun kembali mengikuti UMPT, bersamaan dengan kelulusan abangku yang nomor dua. Dan hasilnya…. Abangku yang tertua gagal, sementara abangku yang kedua lulus di UGM jurusan Teknik Nuklir Fisika.

Mungkin hal itu juga menjadi pemicu tekanan yang dia rasakan. Mungkin dia merasa dia sudah gagal menjadi kebanggaan orangtua, adiknya lebih berhasil ketimbang dirinya… Saat itu perhatian terfokus pada abangku yang kedua. Rasa kecewa bapak terbayar dengan kelulusan abangku yang kedua ini.

Mulai dari situ, gejala-gejala labil abangku semakin tampak… Yah… tahun 1997 abangku sudah mulai labil. Cukup Parah. Itu adalah awal dari permasalahan yang terjadi di keluargaku.

Mungkin cerita ini bisa menjadi pembelajaran bagi para orangtua, agar tidak menuntut anak terlalu berlebihan. Tidak membanding-bandingkan atau membeda-bedakan perlakuan terhadap anak. Tidak semua anak memiliki mental yang sama dan kuat.

Aku pun belajar dari pengalaman ini. Suatu saat, apabila Tuhan ijinkan aku menikah dan mempunyai anak, aku tidak mau terlalu memaksakan kehendak. Mendidik mereka dengan kasih bukan dengan tuntutan. Menjadi seorang pengayom dan tentu saja menjadi teladan. Banyak para orangtua yang hanya tau menuntut tanpa menjadi teladan. Itu pun bisa mengganggu psikologi anak.

Aku berharap bahwa abang tertuaku ini bisa menjadi seorang abang yang mandiri (minimal untuk dirinya sendiri). Sungguh aku mengasihinya dengan segenap hatiku.

Setiap aku berbicara dan mengajak ngobrol dengan abangku, aku selalu berkata aku menyayanginya dan aku menyesal dengan semua sikap2 jahatku selama ini, terutama ketika masih kecil. Aku tidak tau apakah abangku mengerti dengan ucapanku ini atau tidak, tapi selama aku masih bernyawa… aku akan tetap mengatakan hal yang positif kepada abangku. Bahwa aku bangga memiliki seorang abang seperti dia.