Memiliki seorang saudara penyandang difabilitas benar-benar merupakan tantangan tersendiri.  Jujur, aku akui kalau seringkali aku merasa lelah dengan semua ini. Akhir-akhir ini perasaanku agak tidak menentu. Rasanya ingin teriak sekencang-kencangnya.

Di rumah, sering aku kehilangan kendali dan secara tidak sadar, mungkin sikapku menyakiti hati abangku yang penyandang difabilitas itu. Entah dia mengerti atau tidak, entah dia sakit hati atau tidak, aku tidak tau. Tapi, setiap aku berlaku agak diluar kendali, rasa penyesalan dalam hatiku begitu dalam seolah-olah menampar wajahku bertubi-tubi.

Aku sedih, frustasi, hampir putus asa. Sampai kapan abangku seperti itu? Kasihan sekali melihat abangku itu. Andai aku tau apa yang ada di dalam hatinya, apa keinginannya, dan bagaimana menyenangkan hatinya. Entahlah…

Agustus nanti usianya menjadi 40 tahun. Namun sikap, prilaku, tindakannya tidak seperti seorang pria dewasa berusia 40 tahun.  Dia seperti anak-anak. Cara makannya seperti anak-anak. Dia masih belum bisa memilih bajunya sendiri untuk dia pakai. Kadang dia masih merasa takut untuk tidur sendirian. Caranya bicara, bagaimana dia menjelaskan apa yang ada dalam pikirannya, semua seperti seorang bocah berusia 10 tahun.

Jujur, aku sedih melihat dia seperti itu. Kadang aku pernah berpikir, andai aku tidak mempunya seorang abang yang seperti itu, mungkin saat ini aku sudah menikah dan memiliki beberapa orang anak. Mungkin…

Satu hal yang paling membuatku merasa frustasi adalah “sepertinya” tidak ada dari saudara-saudaraku yang lainnya yang peduli dengan abang sulung kami itu. Padahal Abangku itu punya 3 orang adik.  Kemana yang 2 orang adik lainnya lagi? Apa bagi mereka mengirim uang saja cukup?

Ketika mereka datang berkunjung ke rumah, apakah ada inisiatif dari mereka untuk bicara dengan abang sulungku itu? Apakah mereka ada inisiatif mengajak abang sulungku makan bersama? Atau mungkin mengajak nonton tv bersama? Atau melakukan aktifitas apapun bersama? Apakah mereka pernah mengajak abangku itu keluar hanya untuk keliling-keliling saja? Adakah??? Tidak ada! Aku marah, sangat marah. Mereka hanya mau mengajak abangku keluar kalau aku atau mama ikut dengan mereka. Menyedihkan sekali.

Mereka mungkin sudah bekerja, penghasilan mereka besar, namun apakah mereka berhak memperlakukan abang kami seperti itu? Mereka datang berkunjung ke rumah, yang mereka lakukan hanyalah berdiam di kamar masing-masing, sibuk dengan HP mereka masing-masing, sibuk dengan dunia mereka dan kesenangan mereka sendiri. Mereka hanya berbincang-bincang, tanpa menghiraukan abang sulungku yang sibuk mundar mandir tidak jelas.  Adakah inisiatif dari mereka untuk merangkul abang sulungku itu? Setiap aku bertanya, alasan mereka adalah karena mereka lelaki dan aku wanita sehingga sifat peduli mereka tidak seperti aku. Omong Kosong!  Itu semua hanya alasan saja!

Ketika mereka datang ke lampung, apakah mereka pernah ada inisiatif untuk menjumpai psikiater abangku dan bertanya secara pribadi mengenai perkembangan abangku itu? Tidak ada! Omongan mereka besar, seolah-olah merekalah orang yang paling peduli dengan abang sulungku itu. Mereka bilang, mereka sering memikirkan abang sulungku itu sekalipun mereka tinggal di luar kota. Omong Kosong! Untuk apa mereka memikirkan, tapi ketika mereka ada di lampung, sikap mereka cuek dan acuh tak acuh. Hahhhhh… memikirkan apanya?!

Kenapa? Kenapa? Kenapa????

Kenapa aku merasa semua beban harus dilimpahkan kepadaku? Kenapa mama hanya menuntutku untuk begini dan begitu, harus begini dan begitu, dan kenapa mama tidak pernah menuntut hal yang sama kepada kedua saudara lelakiku yang lainnya itu?

Aku marah dengan ketidakpedulian mereka semua. Aku takut, suatu saat aku akan meledakan semua sakit hati dan kecewaku ini, dan akhirnya semua justru menjadi berantakan.

Haruskah aku mengalah terus sampai akhir hayatku? Apakah aku tidak berhak untuk bahagia? Aku seorang wanita yang sudah berusia 35 tahun. Aku ingin menikah seperti teman-temanku yang lainnya. Jika bukan karena Tuhan, mungkin aku sudah lama menyerah dengan kehidupan ini. Aku hanya ingin abang sulungku itu sembuh, sehingga tidak ada lagi orang-orang yang menganggapnya rendah, dan adik-adiknya bisa menghormatinya sebagai seorang abang. Seperti yang seharusnya.